Kasus Perdagangan Orang di Indonesia Tertinggi di Dunia

 Kasus Perdagangan Orang di Indonesia Tertinggi di Dunia
Efektivitas UU PTPPO Masih Harus diuji Indonesia menorehkan sejarah baru dalam perlindungan HAM. Rapat Paripurna DPR belum lama ini mensahkan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) menjadi UU. Namun, sejauhmana UU tersebut mampu meredam kasus perdagangan manusia di Indonesia, masih harus diuji.
Kasus perdagangan orang sering agak samar karena sering bertopengkan usaha legal.Perdagangan orang, manusia jadi komoditi! Itu saja sudah mengerikan. Namun lebih mengerikan lagi karena ternyata Indonesia termasuk negara dengan kasus perdagangan orang tertinggi di dunia.
Kasus perdagangan orang sering agak samar karena sering bertopengkan usaha legal, berupa Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja. Akibatnya, agak sulit mendapatkan data statistik perdagangan manusia Indonesia yang benar-benar valid.
Tapi, praktek bisnis kotor dan tidak manusiawi ini tak bisa disangkal lagi. Seperti disajikan Indo Pos, Kamis (22/3), Kedutaan Besar (Kedubes) RI di Kuala Lumpur pernah melansir jumlah pengaduan dari warga negara Indonesia (WNI) yang mengalami kasus perdagangan orang. Parahnya, dari tahun ke tahun jumlah kasusnya terus bertambah.
Selama Maret 2005 hingga Juli 2006, data International Organisation for Migration (IOM) menunjukkan, sebanyak 1.231 WNI telah menjadi korban bisnis perdagangan orang.
Meskipun tidak selalu identik dengan perdagangan orang, sejumlah sektor seperti buruh migran, pembantu rumah tangga (PRT) dan pekerja seks komersial ditengarai sebagai profesi yang paling rentan dengan human trafficking. “Fenomena perdagangan perempuan sedang menyebar luas dengan kemungkinan jumlah korban lebih besar,” ujar Ketua Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), Latifah Iskandar.
Dengan tidak berkurangnya kasus perdagangan orang berarti di Indonesia belum tampak adanya langkah konkrit untuk menekan praktek haram tersebut. Padahal, data tersebut mungkin sekali hanya merupakan fenomena gunung es.
Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur larangan perdagangan orang. Dalam pasal 297 KUHP misalnya, telah diatur larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa. Selain itu, pasal 83 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), juga menyebutkan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk sendiri atau dijual.
Namun peraturan-peraturan tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang secara tegas. Bahkan pasal 297 KUHP memberikan sanksi terlalu ringan dan tidak sepadan (hanya 6 tahun penjara, Red) bila melihat dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang.
Karena itu, sudah semestinya ada sebuah peraturan khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum formil dan materiil sekaligus. UU itu harus mampu mengurai rumitnya jaringan perdagangan orang yang berlindung di balik kebijakan resmi negara.
Misalnya penempatan tenaga kerja di dalam dan LN. Demikian juga pengiriman duta kebudayaan, perkawinan antarnegara, hingga pengangkatan anak.
DPR pun menyadari masalah ini. Melalui Sidang paripurna DPR 28 Juli 2006, institusi legislatif sepakat mengajukan RUU PTPPO. Gayung bersambut. Presiden RI segera menunjuk Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Negara Hukum dan HAM sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan RUU-PTPPO.

DPR dan Pemerintah segera menyepakati materi muatan RUU PTPPO yang terdiri atas 9 bab dan 67 pasal. “Dengan disepakatinya RUU PTPPO ini, bangsa Indonesia telah memiliki produk hukum yang sangat penting dan komprehensif. Produk ini sebagai payung hukum bagi setiap upaya pencegahan, pemberantasan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang,” kata Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta.
Isteri Sri-Edi Swasono ini menambahkan bahwa ini sekaligus membuktikan komitmen Indonesia untuk melaksanakan Protokol PBB 2000 (Protokol Palermo) tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang yang bersifat transnasional dan terorganisasi.
Sejumlah sanksi berat menambah “garang” UU PTPPO. Dibanding KUHP, ancaman-ancaman pidana yang dipersiapkan UU PTPPO jauh lebih “bertaji”. Sanksi pidana diatur 3-25 tahun penjara dengan denda ratusan juta rupiah. Bahkan bila tindak pidana orang ini sampai menyebabkan kematian korban, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana penjara seumur hidup dan denda maksimal Rp 5 miliar (pasal 7).
Jika kejahatan ini melibatkan unsur penyelenggara negara, sanksinya akan lebih berat lagi. Selain sanksinya ditambah sepertiga, oknum yang bersangkutan juga dikenai sanksi pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya (pasal 8).
Sementara perusahaan/korporasi yang terlibat akan dikenai sanksi hingga tiga kali lipat. Bahkan ada “bonus” sanksi tambahan berupa pencabutan bisnis usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana, pemecatan pengurus dan pelarangan pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam usaha yang sama (pasal 15). “Sanksi yang berlapis dan berat ini, diharapkan bisa menimbulkan efek jera,“ ujar Meutia.
UU PTPPO juga itu juga memberikan pengaturan khusus terhadap masalah tindak pidana perdagangan anak. Ini dituangkan dalam bentuk pemberian hukum yang lebih berat dengan menambah bobot sanksi sepertiga (pasal 17).
Selain itu ada sejumlah perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban maupun sanksi

Ini untuk menjamin pelaksanaan peradilan pidana perdagangan orang tidak sampai mengganggu psikologis anak. Misalnya retraumatisasi dan stigmatisasi,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan menambahkan. 

0 komentar: